BEKASI.
Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) Kamis 26/10 mengadakan peresmian Politeknik
Ketenagakerjaan (Polteknaker). Selain Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dakhiri, dua
menteri lainnya yang hadir adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi (KemenpanRB) Asman Abnur dan Menteri Riset
Teknologi dan Pendidikan Tinggi (RistekDikti) Mohammad Nasir. Acara diadakan di
Balai Besar Pengembangan
Latihan Kerja (BBPLK) di Jalan Guntur Raya No.1, Kayuringin Jaya, Bekasi
Selatan, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Mohammad Nasir mengakui sangat mengapresiasi
peresmian Polteknaker. Ia mengatakan kedepannya sertifikasi menjadi amat
penting. Menteri lulusan Universitas Diponegoro ini membandingkan jumlah
pendidikan tinggi di Indonesia yang mencapai 4529 termasuk di dalamnya
universitas, akademi dan institut, sedangkan di Tiongkok hanya 2824 padahal penduduk
Indonesia hanya 1/6 penduduk Tiongkok. “Kita penduduknya 257 juta, Cina 1,4 miliar.
Pendidikan yang ada di Cina ini 65% vokasi sedangkan vokasi di Indonesia
hanya16%. Rasanya orang kalo gak ada gelar rasanya tidak sempurna, inilah cara
pandang yang salah”, ujarnya. Menurut Natsir, kedepannya gelar akan
ditinggalkan masa, orang yang tidak memiliki kompetensi akan ditinggalkan. Polteknaker
ini nantinya disamping mendapat ijazah akan mendapat sertifikat kompetensi.
Tujuan agar setelah lulus dapat segera bekerja di bidangnya.
Natsir mengakui saat ini yang menjadi kendala
adalah ketersediaan dosen untuk politeknik yang mensyaratkan minimal S2. “Ternyata
menjadi masalah di lapangan kalau dosen politeknik harus S2. Saya minta
kerjasama para pelaku industri untuk bisa ikut mengajar. Saya ganti
kebijakannya, politeknik dosennya tidak harus S2 dan S3”, ujarnya. Kebijakan
Natsir ini juga karena pengalamannya melihat seorang dosen lulusan D3
perlayaran yang memiliki pengalaman 10 tahun nahkoda kapal dan juga mendapat
sertifikat AEO (Authorized Economic Operator)
namun terhambat status dosennya karena belum S2. “Jangan-jangan ini lebih pintar
dari yang S2 dan ternyata betul. Sekarang 100% lulusannya sudah diserap
industri bahkan indent”, tambahnya.
Dalam sambutannya, Hanif Dakhiri mengatakan bahwa tantangan
ketenagakerjaan ke depan yang semakin kompleks membutuhkan sumber daya manusia
yang profesional dibidang Ketenagakerjaan. Untuk mengantisipasi masalah
tersebut, Kemnaker perlu membangun Politeknik yang spesifik pada aspek
ketenagakerjaan. Angka
perselisihan memang menurun dari waktu ke waktu, kualitasnya juga membaik. Namun
demikian secara nominal Hanif merasa masih cukup banyak.. Kemudian masalah
Keselamatan dan Kesehatan Kerja, angkanya pun dari tahun ke tahun menurun, tetapi
secara angka masih membutuhkan perhatian yang serius. Dan stakeholder dalam hubungan industri yakni pemerintah, pengusaha dan
serikat pekerja masih mengalami persoalan-persoalan yang sebenarnya sederhana
namun menjadi besar dan menyedot energi. Inilah yang menjadi motif dasar
polteknaker mengambil tiga program studi yaitu Keselamatan dan Kesehatan Kerja,
Relasi Industri, dan Manajemen Sumber Daya Manusia.
Hanif juga menjelaskan pentingnya skill, inovasi dan kreatifitas saat ini
untuk mampu bersaing di pasar dunia. “Tenaga kerja saat ini sudah kadaluarsa
bukan hanya tenaga dan kerja tetapi dibutuhkan skill, inovasi, dan kreatifitas”, ujarnya. Ia juga menyayangkan
masih banyakanya lulusan SMK yang tidak bisa bekerja karena kurangnya skill yang dimiliki. “Itu pun baru yang
lulus bagaimana dengan yang putus sekolah sebelum kelas 3?”, tambahnya. Oleh karena itu dengan model sertifikasi
kompetensi maka ada tahapan-tahapan. “Misalnya saja SMK pembangunan, tahun
pertama bisa memasang pintu dan jendela, tahun kedua bisa memasang dinding,
tahun ketiga bisa membuat rangka atap. Dengan sertifikasi ini maka jika anak
putus di tahun pertama minimal memiliki sertifikat kompetensi memasang pintu
dan jendela”, paparnya.
Menurut menteri yang pernah menjadi anggota
DPR RI ini sertifikasi kompetensi selain agar SDM Indonesia mampu berdaya saing
di dunia kerja juga merupakan instrumen perlindungan diri kita. “Kalau ahli
tapi tidak memiliki sertifikasi kompetensi maka keahlian kita tidak di recognize tidak diakui”, ujarnya. Dalam
rangka meningkatkan kualitas dan sumber daya manusia, Hanif menyadari tidak
cukup hanya meningkatan vokasi, dukungan lain yang tidak kalah penting adalah
kebijakan sosial, misalnya saja social
insurance. “Social insurance ini
menjawab pertanyaan kalau ada yang mau ikut pelatihan siapa yang mau bayar?”, tambahnya.
Ia pun memaparkan dari sekitar 2 juta
angkatan kerja baru, 750 ribu dari perguruan tinggi, tidak semua bisa langsung
masuk pasar kerja. Hanif menjelaskan bahwa masalahnya adalah pada problem mix and match dan under qualification. “Banyak yang sekolah
komputer tapi gak bisa komputer, atau misal anaknya bagus tapi pasar kerjanya
tidak ada. Misalnya, jurusan PAI (Pendidikan Agama Islam) kebutuhan tenaga
kerjanya 3500 tapi lulusan per tahun 35000 jadi akhirnya sisanya gak bisa
langsung masuk pasar kerja sehingga harus ada kesempatan untuk training”,
paparnya.
Selain itu ada pula kelompok working poor, yaitu kelompok yang telah
bekerja namun juga tidak beranjak dari garis kemiskinan dan juga kelompok orang
yang terkena PHK. “Mereka yang masuk golongan ini adalah kelompok yang rentan.
Dikasih hoax sedikit di social media akan mudah terprovokasi.
Kelompok ini harus dipastikan masuk ke pasar kerja, up-scaling atau re-scaling.
Meningkatkan skill nya atau menambah skill baru”, ujarnya. Sehingga
menurutnya perlu ada kebijakan yang mendukung pembiayaan pelatihan kelompok
ini. “Harus ada skema pembiayaan untuk memastikan pembiayaan dari mereka mereka
yang membutuhkan training”,
tandasnya.