Anjuran-anjuran zaman kiwari
seperti jangan percaya kepada politikus atau politikus lebih mementingkan kepentingan
dia dan kroni, itulah pesan utama film Our Brand is Crisis (2015). Karakter politikus yang demikian, oleh sutradara David Gordon
Green digambarkan
dalam sosok Pedro Castillo (Joaquim de
Almeida), calon Presiden Bolivia yang setelah terpilih kemudian mengingkari
janjinya untuk tak menggadaikan negara kepada lembaga multi collateral semacam International
Monetary Fund (IMF).
Demo besar-besaran pun terjadi di Bolivia. Kerumunan
massa yang kecewa dengan kebijakan Castillo memenuhi jalanan kota La Paz. Di
antara mereka yang turun ke jalan memprotes kebijakan presiden terpilih itu ada
Eduardo Camacho (Reynaldo Pacheco), relawan yang semula sangat percaya Castillo
sebagai solusi memperbaiki negara, serta Jane Bodine (Sandra Bullock),
konsultan politik yang disewa Castillo. Wabil
khusus Bodine, ia akhirnya ikut berdemo sebagai bentuk tanggung jawab moral
lantaran merasa paling berjasa mengangkat Castillo menjadi orang nomor satu di
Bolivia.
Film berdurasi sekitar 110 menit ini mengambil latar
belakang Bolivia yang tengah bergejolak lantaran ekonomi karut marut serta korupsi
merajalela. Film yang diadaptasi
dari film dokumenter berjudul
sama pada 2005 ini lebih banyak menceritakan kiprah Bodine yang
sebetulnya sudah menyatakan pensiun dari hiruk-pikuk dunia politik setelah
kekalahan di pemilihan presiden oleh saingannya sesama konsultan, Pat Candy (Billy Bob
Thornton). Gara-gara Candy menjadi konsultan politik rival
Castillo akhirnya Bodine turun gunung meninggalkan ketenangan. Hasrat balas
dendam dan mengalahkan Candy itulah motivasi utamanya.
Semula Bodine tak yakin kepada Castillo untuk memenangkan
pemilihan lantaran kasar,
kaku, feodal, dan lulusan Amerika. Sedangkan rivalnya
antitesa Castillo yang ramah, kharismatik, dan rakyat Bolivia yang notabene
miskin menyukai sosok seperti itu. Titik balik terjadi seusai debat Castillo
dilempar telur oleh pendukung rival. Sontak, Castillo yang temperamen pun memukul
orang tersebut. Tim konsultan bersepakat untuk meminta maaf. Tapi kemudian
Bodine menilai tak perlu meminta maaf karena tak sesuai dengan karakter
Castillo yang kasar dan temperamen. Justru kasar, temperamen tapi pekerja keras
dan tak korup itu karakter presiden yang dibutuhkan untuk menyelesaikan krisis ekonomi.
Semenjak itu, Bodine mempermak Castillo menjadi sosok
yang pekerja keras. Ia tak boleh pakai pakaian formal tapi hanya menggunakan
kemeja dengan bagian lengan digulung. Castillo harus menangis di depan televisi
untuk mengundang simpati rakyat dengan menceritakan kisah anaknya. Harus
berapi-api ketika menjadi orator di depan para buruh pabrik serta menjadi
penengah yang baik ketika menghadapi protes rakyat. Bodine berhasil mencitrakan
sosok Castillo sebagai calon pemimpin solusi persoalan bangsa. Segala cara
dilakukan oleh Bodine agar bisa menang dalam pertarungan dengan Candy. Termasuk
menggunakan kampanye hitam.
Selain pendendam dan menghalalkan segala cara, David
membikin karakter Bodine dalam film tersebut sebagai orang ambisius, mandiri,
dan cerdas. Ia juga suka menggunakan kata-kata tokoh-tokoh besar macam Goethe
dan Machiavelli dalam dialognya. Karakter Bodine mengingatkan kepada film Miss
Sloane, film tentang pelobi yang memiliki sifat serupa yang diagung-agungkan
oleh kaum feminis—kecuali menghalalkan segala cara. Bedanya karakter Bodine
lebih kocak ketimbang Sloane. Dialog-dialognya juga menghibur dan hidup. Barangkali
gara-gara David spesialis film bergenre komedi. Atau David ingin membuat
para penonton memahami bahwa politik itu tidak berat, politik itu bisa
ditertawakan.
Sandra Bullock sukses menampilkan karakter Bodine. Dari
segi alur cerita pun tidaklah rumit dan mudah dipahami oleh orang yang awam
politik. Hanya saja, tak ada kejutan dalam cerita film tersebut. Semua orang
sudah tahu pada akhirnya Bodine bakal menang. Hal ini yang membedakan dengan film
Miss Sloane yang setiap bagian ada kejutan dengan klimaksnya di bagian akhir.
Film Our Brand is Crisis mengingatkan politik kontemporer di Indonesia. Segala cara digunakan oleh
para calon untuk mendapatkan kekuasan. Bukan hanya kampanye hitam tapi politik
identitas yang memecah belah bangsa. Bahkan, di Amerika yang katanya bapak demokrasi,
satu calon menggunakan konsultan yang belakangan ketahuan menggunakan data
Facebook untuk memenangkan pemilihan.