Mengajar lewat digital tengah tren saat ini. Waktu yang
fleksibel serta gaji yang lumayan menjadi alasan pengajar beralih ke dunia
digital.
BANDUNG—Annisa
Khotmil kini tak perlu khawatir keteteran dalam melakoni aktivitasnya sebagai
karyawan perusahaan swasta sekaligus sebagai pengajar les. Setelah
bergabung dengan Unacademy Februari lalu, Alumni jurusan jurnalistik
Universitas Islam Bandung ini bisa menambah pundi-pundi uang hanyadengan membuat
kerangka pembelajaran yang ia
unggah ke aplikasi buatan India tersebut.
Caranya cukup
mudah. Anis, begitu ia biasa disapa, hanya membikin materi pembelajaran dalam
bentuk powerpoint yang kemudian ia
rekam lalu diunggah ke jasa edukasi berbasis aplikasi tersebut. Setelah ia
unggah, aktivitas belajar mengajar pun terjadi. Singkat, padat, dan lumayan gampang.
Merasa nyaman dengan waktu pembuatan materi belajar
yang fleksibel di dunia
maya, Anies akhirnya meninggalkan aktivitasnya
mengajar privat yang digeluti sejak 2015. “Karena disambi kerja di kantor agak
keteter mengatur
waktu. Jadi, saya lepas enggak mengajar yang konvensional,” kata Anis kepada Retorika
Kampus pertengahan April lalu.
Selain waktu pembuatan materi pembelajaran yang
fleksibel, besarnya gaji yang diterima menjadi nilai tambah masuk Unacademy ketimbang mengajar
konvensional. Solikhah Arviyanti, pengahar kimia dan fisika, mengaku setidaknya dalam sebulan
mengantongi US$ 180 atau sekitar Rp 2,4 juta dari mengunggah dua course pelajaran--tiap course terdiri dari 9-10 powerpoint.
Bahkan saat senggang, mahasiswa pascasarjana Kimia
Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mampu meraup pendapatan hingga dua kali
lipat dari mengajar di Unacademy. Anis pun mengamini hal yang sama dengan
membandingkan gaji yang diperolehnya dari mengajar privat. “Gajinya lebih besar di Unacademy ketimbang les privat. Dulu
privat Bahasa Inggris 2 jam gajinya Rp 50 ribu,” kata Anis.
Perkembangan
teknologi menggeser cara belajar mengajar sekarang ini. Unacademy merupakan satu dari banyak aplikasi pembelajaran di
Indonesia. Selain Unacademy ada perusahaan rintisan atau start up yang bergerak di bidang pendidikan seperti PesonaEdu,
RuangGuru, Zenius, HarukaEdu, Squaline, Quipper, Bahaso, Kelase dan lain-lain. Ada yang buatan luar, ada juga hasil karya anak
bangsa.
Perkembangan bisnis
digital di bidang pendidikan cukup pesat. Bisnis digital di bidang pendidikan
bakal terus berkembang lantaran setiap tahun pemerintah mengalokasikan dana
sekitar 20 persen dari total anggaran. Kementerian Komunikasi dan Informasi pun
menduga akan ada start up di bidang
pendidikan yang menjadi unicorn—valuasinya
lebih dari Rp 13 triliun—
menyusul Go-jek,
Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak.
Namun di tengah
gurihnya bisnis digital di bidang pendidkan, ada saja persoalan. Anis
dan Solekhah mengaku harus menghadapai tantangan tersendiri saat mengajar lewat digital. Tidak
bertatap muka langsung dengan siswa didik membuat mereka tidak bisa memastikan materi yang
disampaikannya dapat dipahami peserta didik.. “Saya mengajar ilmu social. Kan agak boring, jadi siasatnya harus ditambah gambar-gambar. Padahal di Unacademy sangat
hati-hati terhadap hak cipta, nah itu sih yang susahnya,” keluh Anis.
Anis mungkin salah
satu yang tergiur mengajar lewat digital. Tapi bagi
beberapa orang, mengajar
konvensional—berinterkasi langsung—tetap lebih utama. Alfiyah
Nur Fitriani, misalnya.
Mahasiswa Pasca sarjana
Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung ini tak tergiur untuk beralih ke mengajar digital.
Pengajar dari Nurul
Fikri ini menganggap tatap muka masih menjadi
metode terbaik dalam mengajar. Pasalnya, perubahan raut muka siswa menajdi
tolok ukur baginya untuk melanjutkan materi maupun mengulang materi yang sama
jika siswa terlihat belum memahaminya. Qonita, pengajar kimia dari Edulab pun sependapat. “Lebih nyaman
ngajar privat, ketemu anak-anak itu menyenangkan,” kata Qonita.
Selain mengajar
privat dan bimbingan belajar, Qonita yang pernah menjadi guru honorer salah
satu sekolah di Jakarta ini berpendapat bahwa mengajar anak-anak Sekolah Dasar
hingga Sekolah Menengah Atas lebih mudah dan efektif dengan tatap muka dan interaksi.
Lain hal jika mengajar mahasiswa yang lebih mampu
belajar mandiri. “Seperti ada
energi positif keluar pas mengajar mereka. Senangnya, mereka paham ketika ditanya,” kata Qonita.
Nisaul Kamila