BANDUNG. Dua puluh tahun yang lalu (21 Mei 1998 – 21 Mei 2018), telah terjadi peristiwa bersejarah bagi republik ini. Bukan sebatas peristiwa runtuhnya rezim yang sudah berkuasa selama 32 tahun, tetapi sebagai peristiwa yang memiliki semangat memperbarui tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, baik dalam bidang ekonomi, politik, dan hukum. Peristiwa itu kita sebut REFORMASI.
Reformasi adalah alternatif metode perubahan sosial yang bijak dan menjadi jalan lunak dalam mentransformasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena pada definisinya, Gerald E Caiden menjelaskan apa yang disebut sebagai Reformasi, “The artifical inducement of administrative transformation against resistance.” Reformasi merupakan perubahan terencana (planned change) atau perubahan yang di persiapkan secara sengaja atau diinginkan (intended change). Perubahan terencana menandakan adanya persiapan yang matang menyangkut sumber daya, sistem, instrumen dengan prasayarat adanya visi, misi, dan sasaran yang hendak tercapai secara terukur. Jadi, peristiwa Reformasi ini merupakan akumulasi dari keresahan panjang antar generasi dari setiap entitas bangsa, dan memuncak pada Mei 1998.
Saya juga ingin
menegaskan bahwa Reformasi bukanlah sebuah momentum yang terjadi pada tanggal
21 Mei 1998. Lebih jauh dari itu, yaitu sebagai sebuah “era” baru dalam
kehidupan berbangsa kita. Kalau kita menjadikan Reformasi sebagai momentum,
kita akan terjebak pada kegiatan yang sifatnya seremonial, dan jika Reformasi
sebagai sebuah Era, kita memiliki tanggung jawab Moral dan Intelektual untuk
mengawalnya sampai visi dan semangat Reformasi itu sendiri tercapai.
FILOSOFI REFORMASI
Reformasi di perjuangkan dengan ongkos yang amat mahal yaitu dengan
mengorbankan banyak pikiran, waktu, energi, bahkan mengorbankan nyawa
sekalipun. Dan bukan hanya untuk menuntaskan 6 tuntutan Reformasi; 1) Supremasi
Hukum, 2. Pemberantasan KKN, 3. Adili Presiden Soeharto dan Kroninya, 4.
Amandemen Konstitusi, 5. Pencabutan dwi fungsi ABRI, 6. Otonami daerah
seluas-luasanya. Tetapi lebih jauh dari itu. Yaitu ingin menghadirkan dan
menyeimbangkan antara Kesejahteraan Rakyat dan Kebebasan Berdemokrasi. Atau
bahasa lainnya, ingin mengganti Rezim Otoriter menjadi rezim yang Demokratis.
Demokrasi menjadi sistem yang didambakan dan ouput dari sistem demokrasi
adalah Kesejahteraan Rakyat.
Kalau kita telisik lebih jauh, Reformasi ini semangatnya juga merupakan antitesa dari Orde Lama dan Orde baru. Waktu Orde Lama, kita merasakan Kebebasan berdemokrasi, tetapi kita tidak merasakan kesejahteraan. Disebabkan karena Inflasi yang sangat tinggi, adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak November 1945, eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan dan kondisi lainnya.
Orde Baru lahir sebagai
antitesa Orde Lama dengan membawa narasi “ Trilogi Pembangunan” yaitu 1.
Stabilitas Nasional yang dinamis, 2. Pertumbuhan Ekonomi tinggi, dan 3.
Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasil nya. Namun ongkos mahal dari narasi
pembangunan itu adalah mengikisnya kebebasan berdemokrasi pada Orde Baru. Kita
seperti burung dalam sangkar, “Kenyang perutnya tapi dibatasi dalam
berbicara”. Pemerintah memonopoli pembicaraan publik dan menghukumi pikiran rakyat. Karena itu Orde Reformasi hadir dengan membawa semangat menyeimbangkan
antara Kesejahteraan Rakyat dan Kebebasan Berdemokrasi. Itulah sesungguhnya
filosofi dari Reformasi.
REFORMASI TAK BERDAULAT
Secara umum, filosofi maupun tuntutan Reformasi relatif sudah di
jalankan, namun secara spesifik dan maksimal tentu belum. Dalam Hal kebebasan
berdemokrasi, sudah seharusnya di zaman Reformasi sesuai dengan Amanat UUD 1945
pasal 28E bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk berkumpul,
berserikat, dan mengeluarkan pendapat”. Namun hari ini, dengan adanya Perpu
Ormas, UU MD3, RKUHP Pasal Penghinaan Presiden menjadi celah untuk membungkam
pikiran dan hak demokrasi masyarakat. Hal ini di kuatkan dengan laporan dari South
East Asia Freedom of Ekspression Network (SAFE Net) bahwa telah terjadi 61
kasus pelanggaran hak berkumpul dan berekspresi di Indonesia.
Dalam hal
supremasi hukum, masih terdapat kasus pelanggaran HAM yang sedang dan ringan
yang belum terselesaikan. Seperti kasus penembakan Mahasiswa Universitas
Trisakti dan Tragedi Semanggi, Kasus
Munir, dan yang terdekat adalah penyiraman air keras kepada Novel Baswedan yang
sampai saat ini belum diketahui siapa pelakunya. Ini menandakan Indonesia
belum menempatkan supremasi hukum di lembaga peradilannya.
Dalam hal
Kesejahteraan Rakyat, tentu kita merasakan hari ini daya beli masyarakat
menurun, hal yang di tegaskan oleh Direktur Eksekutif Center of Reform on
Economics (CORE) Muhamad Faisal “Proporsi pendapatan yang di belanjakan pada
kuartal I-2018 menurun menjadi 64,1%. Lebih rendah dari periode yang sama
pada tahun lalu, dimana proporsi pendapatan yang di belanjakan berada di angkat
65,2 %”. Belum lagi kurs Rupiah yang melemah terhadap dolar Amerika, yaitu
di angka Rp.14.200 per dolas AS yang dapat menganggu stabilitas ekonomi
Indonesia. Maraknya produk impor pun mempengaruhi kondisi petani Indonesia.
Dan yang hangat dewasa ini adalah marak nya Tenaga Kerja Asing yang menyerbu
Indonesia, menjadi luka yang dalam bagi kesejahteraan Rakyat Indonesia. Karena
TKA ini bukan hanya mereka yang memiliki spesialisasi, namun juga TKA kasar
yang pendapatannya melebih tenaga kerja dari Indonesia.
Dalam UUD 1945
pasal 27 di jelaskan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, namun hari ini kita melihat masih
banyak buruh yang mengeluh terkait kesejahteraannya dan juga Guru Honorer
yang kesejahteraannya sampai hari ini belum di perhatikan secara serius.
Berdasarkan
penjelasan di atas bahwa Amanat Reformasi yang menjajaki 20 tahun usianya
memang sudah relatif dijalankan, namun belum berdaulat. Kita masih belum bisa
berdiri di kaki sendiri, masih tergantung kepentingan asing dan masih belum
mampu mensejahterahkan rakyat secara maksimal.
Menuntaskan Reformasi
Amanat Reformasi
dan juga Amanat Kemerdekaan bangsa ini, menjadi tanggung jawab bersama semua
elemen. Terkhusus anak-anak muda sebagai generasi baru Indonesia. Anak-anak
muda yang telah menunaikan sebagaian dari tugas sejarah, sekarang harus segera
kembali mengkonsolidasikan diri, mencabut pesimisme pada kondisi dan segera
mematangkan diri secara dini, kemudian berkata dengan yakin kepada bangsa ini :
Tuntaskan Reformasi!
Percepat Alih Generasi!
Wujudkan Kedaulatan NKRI!
Mungkin memang harus seperti ini kejadianya; bahwa sejarah menghendaki kita melangkah lebih cepat untuk menyelamatkan bangsa ini. Kita harus kembali penuhi jalanan. Tanpa mengurangi rasa hormat, barangkali merupakan dosa untuk mengutuk kegelapan ini. Maka biarkalah sedikit memaksakan diri kita kepada mereka para penguasa sembari berkata; beri kami lebih banyak kesempatan untuk terlibat, dan izinkan kami anak-anak muda untuk menuntaskan Reformasi ini!
Oleh : M. Fauzan Irvan
Presiden BEM Rema UPI,
Kordinator BEM SI Jawa Barat.