Peringatan hari sumpah pemuda bagi para
pelajar Indonesia di luar negeri, atau minimal buat saya sendiri, bisa berarti
teguran: apakah tumpah darah, bangsa, dan bahasamu masih Indonesia?
Beberapa waktu lalu, salah satu teman yang
sedang berkuliah di Belanda mengirim pesan via Whatsapp untuk bertukar kabar lalu kami pun berdiskusi tentang
beasiswa, ditambah sedikit menyentuh tentang fast-food chains dan drug
politics di negara berkembang. Lumayan jadi belajar juga nih, pikir saya.
Dalam perbedaan waktu 8.5 jam, kami pun menutup diskusi dengan rencana jangka
panjang yang cukup besar setelah masing-masing kembali ke tanah air nanti:
membangun sekolah dan klinik. Saya sendiri memang sudah lama menetapkan ultimate goal untuk tinggal di desa
membangun panti asuhan yang ada sekolah dan kliniknya. Sengaja saya labeli ultimate, karena memang belum tahu kapan
akan direalisasikan. Mungkin karena terlalu sering main game Harvest Moon saat kecil, cita-cita pamungkas
saya jadi sesederhana hidup bahagia dan bermanfaat di tempat yang jauh dari
hingar bingar Jakarta, apalagi Meikarta. Kebetulan sekarang ada teman yang bisa
diajak ‘patungan’ buat merealisasikan cita-cita itu. Jadi gak sabar.
Tapi tunggu dulu, memangnya tinggal di desa
bisa bikin orang lebih bahagia? Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun
2017, dalam skala 0 hingga 100, orang Indonesia secara umum termasuk bahagia
dengan skor 70.69. Indeks kebahagiaan ini meliputi dimensi kepuasan hidup, dimensi
perasaan (affect), dan dimensi makna
hidup (eudaimonia). Sementara itu,
penduduk perkotaan ternyata cenderung lebih bahagia dengan skor 71.64 dibanding
penduduk perdesaan dengan skor 69.57. Sebagai tambahan, ternyata kelompok usia
yang lebih muda dan belum menikah juga cenderung memiliki angka indeks
kebahagiaan yang lebih tinggi(1).
Muda, jomblo
dan tinggal di kota kemudian menjadi resep bahagia kaum milenial Indonesia masa
kini. Okay, fine. Pantas saja kalau
laju urbanisasi Indonesia akan terus meningkat hingga diperkirakan pada tahun 2035,
jumlah penduduk perkotaan akan mencapai dua kali lipat dari jumlah penduduk
perdesaan padahal luas area yang dikategorikan sebagai perkotaan hanya kurang
dari seperempat luas wilayah total Indonesia(2). Saya jadi ingat
waktu itu teman saya dari Iran mungkin dia pernah baca entah di mana lalu
bilang ke saya, “How can the population
of a tiny island like Java be more than six times as large as the total
population of Australia? Crazy!”. Saya cuma ketawa sambil bilang, “You try living there yourself and go crazy.
Haha.” Dengan proporsi orang usia produktif yang lebih banyak bermigrasi
dari desa ke kota demi pekerjaan dan kehidupan yang layak juga mungkin
kebahagiaan (?), saya membayangkan kelak di masa depan perdesaan hanya akan
dihuni oleh kakek nenek. Desa kemudian hanya menjadi topik yang muncul di
karangan anak-anak Sekolah Dasar pasca-liburan panjang dengan judul “Berlibur
di Rumah Nenek” yang menceritakan tentang betapa asyiknya liburan di desa lalu
bermain dengan hewan ternak bersama kakek dan membantu nenek menanam padi di
sawah serta memanen sayur mayur di kebun.
Tapi sayang sekali, gambaran desa yang asri
dengan hewan ternak, sawah dan kebun juga mungkin memang hanya ada di game Harvest Moon. Seiring menuanya usia, nenek
dan kakek sudah tidak sanggup lagi mengolah lahan pertaniannya sendiri, apalagi
ketersediaan layanan kesehatan di daerah perdesaan pun tidak cukup memadai baik
dari segi sarana, prasarana, maupun tenaga kesehatan untuk membantu kakek dan nenek
tetap sehat(3). Jadi agar tidak mubazir, sebagian lahan kakek dijual
dan sebagian lagi diolah secara kolektif dengan kakek dan nenek tetangga. Lahan
yang dijual pun telah beralih kepemilikannya ke industri besar yang kemudian
dalam sekejap berubah menjadi lahan tanaman industri, pabrik atau bahkan tempat
wisata(4).
Ngomong-ngomong lahan industri, salah satu
tanaman industri yang cukup berkontribusi besar terhadap pendapatan negara
ialah tembakau, di mana Indonesia menjadi negara produsen tembakau terbesar
kelima dan jumlah perokok kedua terbanyak di dunia setelah Cina(5). Belum
lagi, perusahaan industri rokok kan
sangat dermawan karena sering jadi sponsor pertandingan olah raga juga pemberi
beasiswa bergengsi untuk keberlangsungan hidup para generasi penerus nusa
bangsa. Maka tidak salah kalau industri rokok di Indonesia tumbuh subur sesubur
tanahnya, sampai-sampai pemilik perusahaan produsen rokok menjadi orang-orang
terkaya di Indonesia; sebut saja R. Budi dan Michael Hartono serta Susilo
Wonowidjoyo. Apalagi the Hartono Brothers,
kalau tahun 2017 dihitung juga, berarti sudah delapan tahun berturut-turut jadi
kakak-adik terkaya di tanah air(6). Life is good, isn’t it, Sir?
Di awal tahun 2017 lalu, media sosial saya
sempat ramai dengan laporan yang baru dipublikasikan oleh Oxfam International
terkait kesenjangan ekonomi di Indonesia yang mana jumlah seluruh uang dan aset
hasil ‘urunan’ 100 juta orang termiskin di Indonesia bahkan tidak akan lebih
banyak dari ‘urunan’ uang dan asetnya empat orang terkaya di Indonesia(7).
Belum pernah petani tembakaunya yang kemudian menjadi orang terkaya di
Indonesia; mereka bahkan sebenarnya bisa lebih untung kalau mau menanam jenis
tanaman yang lain(8,9). Oke, mari kita berdeduksi. Sepertiga dari
total penduduk Indonesia adalah perokok dan sebagian besarnya ialah penduduk
miskin yang pengeluarannya untuk konsumsi rokok saja justru lebih besar dibandingkan
untuk membeli lauk-pauk(10). Setelah lebih dari setengah abad
menggeluti bisnis jualan rokok, jelas saja kesenjangan ekonomi semakin lebar, lha wong miskin ini pada secara sadar
dan sukarela kok membelanjakan
uangnya untuk beli rokok ke orang-orang terkaya itu. Hebat, bukan? Orang miskin
di Indonesia ini seharusnya bangga karena rokok mereka berarti telah
berkontribusi untuk membantu perusahaan-perusahaan rokok itu membajar pajak,
mensponsori pertandingan olah raga, dan memberikan beasiswa untuk generasi emas
Indonesia. Jadi, walaupun miskin dan berisiko kanker, serangan jantung,
impotensi dan gangguan kehamilan dan janin, semoga rupiah-rupiah yang
dibelanjakan untuk rokok tersebut menjadi amal jariyah yang manfaatnya terus
mengalir. Amin…
Namun demikian, kalau sejatinya hidup ternyata
hanya permainan dan senda gurau (QS 6:32), maka setiap manusia pasti menempuh
cara yang berbeda-beda untuk memenangkan permainannya. Jadi kalau saya sih,
jelas akan sebisa mungkin menjauhi rokok dan menganjurkan orang-orang, minimal
yang dekat dengan saya, untuk melakukan hal yang sama. Saya tidak akan ikhlas
membayangkan the Hartono Brothers
masih memenangkan permainannya sebagai orang terkaya di Indonesia dalam dua
atau tiga puluh tahun mendatang berkat jualan rokoknya. Kalau mereka semakin
kaya dan kemudian mengekspansi bisnisnya serta memperluas lahan tanaman
tembakaunya di seluruh penjuru perdesaan di Indonesia, bagaimana saya akan memenangkan
game Harvest Moon saya untuk
membangun panti asuhan, sekolah dan klinik, serta menjadikan orang-orang di
desa saya kemudian hidup dengan indeks kebahagiaan tertinggi?
Anyway, selamat
hari sumpah pemuda! Mari kita lanjutkan permainan, eh, perjuangan pemuda
Indonesia!
***
Oleh Rizki
Andini, S.Gz*
*Penulis adalah
penerima Australia Awards Scholarship
(AAS) dan Kandidat Master of Health and
International Development (MHID), Flinders University, South Australia.
Pranala luar:
(1)
https://www.bps.go.id/index.php/brs/1312
(3)
http://www.nap.edu/catalog.php?record_id=18437
(4)
http://www.cifor.org/publications/pdf_files/OccPapers/OP-142.pdf
(5)
http://www.searo.who.int/tobacco/documents/ino_gyts_report_2014.pdf
(6)
https://www.forbes.com/indonesia-billionaires/#7fcd6db145b7
(7)
https://www.oxfam.org/sites/www.oxfam.org/files/bp-towards-more-equal-indonesia-230217-en_0.pdf
(8)
https://global.tobaccofreekids.org/assets/global/pdfs/en/Indonesia_tobacco_taxes_report_en.pdf