Ekonomi
Inklusif sempat menjadi pandangan umum dan akhirnya disepakati oleh pemimpin
negara-negara yang tergabung dalam Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) 2017
yang diselenggarakan di Danang, Vietnam pada 11 Nopember 2017. Entah seperti
apa pandangan mereka terhadap ekonomi inklusif namun sepertinya mengalami
penyempitan yang hanya fokus pada perdagangan inklusif yang berarti kurang
lebih bermakna perdagangan bebas-non tarif.
Pada
dasarnya suatu perekonomian akan berkembang dengan fondasi yang kokoh manakala
seluruh agen (pelaku) ekonomi yang terlibat di dalamnya mampu dan memiliki akses
yang terbuka untuk memberikan nilai tambah. Pelibatan secara sistemik dan masif
individu dengan mengesampingkan masalah gender,
difabilitas, dan lain sebagainya dalam rantai nilai tambah dalam satu sistem
ekonomi tentu akan memperkuat fondasi ekonomi yag inklusif dengan pertumbuhan yang
berkelanjutan.
Akumulasi
aset termasuk skill dan informasi pada
satu atau segelintir agen ekonomi akan membuat pertumbuhan ekonomi berjalan
timpang. Pertumbuhan yang timpang ini secara berkelanjutan akan memiliki efek
bola salju yang gelindingannya akan merusak banyak bangunan dan strukturnya;
seperti bangunan sosial, budaya, politik, bahkan hukum dan tentu saja bangunan
ekonomi dan keuangan.
Beberapa
hal yang menunjukkan ketimpangan sudah terjadi, seperti dengan kasat mata kita
melihatnya sendiri di lingkungan sekitar. Selain itu secara khusus ukuran gini
rasio negara kita juga makin tinggi (0,41). Gini rasio yang semakin tinggi
menunjukkan ketimpangan yang semakin lebar dan juga berarti terjadi akumulasi
kekayaan pada segelintir orang.
Hal
seperti di atas bukan lantas tidak disadari oleh pemerintah, pemerintah dengan
berbagai upayanya terus mencoba menyasar penyelesaian tantangan itu. Termasuk
peluncuran banyak paket ekonomi hingga lima belas (15) buah dalam rangka
memperbaiki iklim usaha nasional dari berbagai sudut.
Warisan Liberalisasi
Ekonomi
Semenjak
Indonesia melakukan liberalisasi ekonomi pada tahun 1988 silam, tidak
dipungkiri telah berhasil membawa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan cepat
dengan patokan pada gagasan trickle-down effect.
Namun demikian pembangunan ekonomi dengan gagasan tersebut bukan tidak
meninggalkan catatan penting di dalamnya. Banyak sekali catatan yang bisa
diambil. Beberapa catatan antara lain bahwa ternyata pertumbuhan yang tinggi dengan
sokongan utama dari konsumsi (catatan: hingga saat ini) membuat kepercayaan
diri kita menjadi melambung hingga melupakan penguatan inti mesin pertumbuhan
itu sendiri. Inti mesin pertumbuhan itu adalah sektor produksi baik barang
ataupun jasa, tentu saja dengan tidak mengesampingkan sektor lain.
Perkembangannya
setelah itu, sektor produksi dicoba digeser dari industri padat tenaga kerja dengan
mengerahkan seluruh energi menjadi industri padat teknologi tinggi yang mana
tidak jamak dikuasai oleh sebagian besar pelaku ekonomi di Indonesia. Sehingga
sekali lagi terjadi pemusatan aset yang tidak merata.
Langkah Awal
Langkah-langkah
konkrit dan sistemik perlu diambil guna sesegera mungkin dapat dilakukan
perbaikan atas catatan-catatan pada model pembangunan masa lalu. Pelibatan
menyeluruh dan inklusif dalam pembangunan ekonomi dapat dilakukan dengan
memulai dari lapisan yang selama ini tidak “terlibat” maupun “dilibatkan”. Upaya
untuk menarik keterlibatan ini harus dilakukan melalui pengembangan “skill” tidak hanya secara konvensional
melalui pendidikan formal, namun harus lebih ditekankan melalui upaya yang non
konvensional.
Usaha
non-konvensional ini adalah upaya penularan (regenerasi) kemampuan yang difasilitasi
oleh pemerintah sebagai upaya menjamin keberlangsungan pool of knowledge (tandon pengetahuan) dan pool of skill (tandon ketrampilan) untuk generasi mendatang yang
secara umum kurang terpapar dengan pendidikan formal. Banyak sekali
talenta-talenta atau kearifan lokal yang dimiliki oleh individu maupun kelompok
masyarakat yang selama ini tidak terwariskan secara sistematis sehingga hilang
begitu saja. Untuk menanggulangi keringnya tandon tersebut perlu melibatkan
berbagai macam pihak, seperti lembaga swadaya masyarakat, tokoh agama, tokoh
adat, perbankan, dan tentu saja pemerintah.
Identifikasi
terhadap para tandon ini perlu dilakukan untuk segera ditularkan (regenerasi).
Identifikasi ini harus mencakup bebagai bidang seperti budaya dan seni, sektor
kreatif, pertanian, peternakan, dan lain sebagianya. Tandon-tandon inilah yang
nanti akan menajadi tempat bagi pelaku ekonomi yang selama ini tidak terlibat
banyak dalam perekonomian (katakanlah seperti unskilled labor) akan menyerap ilmu, skill, dan pengetahuan. Bagai para “tandon” hal ini tentu akan
menjadi cara untuk memperbesar skala produksinya dengan kata lain akan mampu
menciptakan nilai tambah yang lebih besar.
Peran Penting
Pesantren
Dalam
upaya mengangkat ekonomi dan memperkecil kesenjangan ekonomi pemerintah dapat
memanfaatkan lembaga sosial yang selama ini sudah ada dan teruji dalam
peranannya memperkuat struktur bangunan soaial kemasyarakatan seperti halnya pesantren.
Demikian juga peran ketokohan lokal dalam lembaga itu atau masyarakat setempat
dalam hal ini dapat dijadikan tolok ukur sebagai social collateral bagi perbankan untuk berperan lebih banyak dengan
memberikan akses terhadap permodalan bagi para tendon yang telah
teridentifikasi.
Hal
ini sejalan dengan keinginan pemerintah dalam memperkuat ekonomi umat.
Kerjasama pemerintah dan berbaagi perangkatnya dengan pesantren dan lembaga
sosial sejenis tentu akan mampu menarik pelaku ekonomi yang selama ini
terpinggirkan menjadi aktif dan pada akhirnya akan berkontribusi maksimal dalam
memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional.
Athor
Subroto
Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
telp:
081381118117
email
koresponden: athor.subroto@ui.ac.id/athor.subroto@yahoo.com