DEPOK. Tepat tanggal 20 Oktober 2017, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan
Jusuf Kalla menginjak tahun ke-3 masa pemerintahannya. Tentu sudah banyak
sekali program-program yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk kemajuan
bangsa serta mensejahterakan rakyat Indonesia. Namun, tidak dipungkiri
juga bahwa masih banyak hal yang belum sesuai dengan apa yang telah direncanakan oleh pemerintah itu
sendiri. Salah satunya yaitu dalam penentuan kebijakan hukum di Indonesia.
Menurut Mustafa Fakhri, Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara (KPSHTN) Fakultas
Hukum Universitas Indonesia (FH UI), proses penentuan kebijakan hukum selama ini
masih tambal sulam dan belum memuaskan.
Melihat kasus-kasus yang terjadi selama ini tentang
permasalahan hukum di Indonesia yang cenderung tumpul ke atas dan tajam ke
bawah, Fakhri mengungkapkan bahwa ada beberapa hal yang harus dipisah, seperti
kewenangan eksekutif. Kewenangan eksekutif adalah melakukan perencanaan dan
menentukan kebijakan untuk terus
menegakkan hukum. Jadi proses penegakkan hukumnya ditegakkan oleh masing-masing
institusi yakni kejaksaan,
kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun tetap terpisah karena
ada beberapa ranah yang berbeda.
“KPK misalnya independen. Tetapi kepolisian dan kejaksaan
masih di bawah presiden, dalam artian dia (presiden) sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan. Maka dia masih mempunyai tanggung jawab pembenahan di institusi
penegakkan hukumnya sendiri. Jadi dia harusnya melakukan proses reformasi di
internal kepolisian dan kejaksaan,” ungkapnya kepada Retorika Kampus.
Menurut Fakhri, selama ini masih ada tarik menarik antara
presiden dengan pemilik partai politik PDIP (Jokowi dengan Megawati). Dia
mencontohkan saat penetapan Jenderal Budi Gunawan (BG) sebagai kepala kepolisian, yang sangat
tampak ada tarik
menarik antara KPK dengan Presiden. KPK menetapkan BG sebagai tersangka,
sedangkan dia (BG) sudah diajukan oleh presiden.
“Itu kan bisa dikatakan kehendak dari
Bu Mega, sebagai pemilik partai PDIP. Jadi dari situ saja bisa kita lihat
kekuasaan presiden masih bisa dikatakan dikurangi, tidak bisa menjalankan
kekuasaannya secara penuh karena adanya campur tangan dari pemilik partai
politik,” kata Fakhri.
Proses Hukum Dicabut dengan Proses
Politik
Adanya campur tangan politik terhadap hukum,
mengakibatkan pelaksanaan hukum pun setengah hati dalam pelaksanaanya. Fakhri mengatakan bahwa intervensi
politik tidak hanya dari presiden, tetapi juga dari kekuatan lain seperti Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), seperti pada pembentukan panitia
khusus (pansus) hak angket
KPK yang murni politik
dari DPR. “Saya katakan demikian karena KPK memang tidak luput dari
pengawasan DPR. Tapi kenapa
hanya KPK saja yang diawasi oleh DPR (yang dibentuk pansusnya)?
Harusnya kepolisian dan kejaksaan juga.
Jadi katakanlah pansus penegakkan
hukum,” tuturnya.
Dalam hal ini, salah satu Ahli Hukum UI tersebut
mengatakan bahwa para politisi harus bertindak sebagai negarawan. Politisi
ketika membentuk hak angket KPK, meskipun KPK tidak bisa lepas dari pengawasan
DPR, tetapi kita juga tidak bisa menutup mata bahwa proses pembentukan hak
angket itu sendiri di latar belakangi oleh kasus e-KTP, karena ada kasus e-KTP
yang menyasar para anggota dewan kemudian anggota dewan seolah-olah melakukan
serangan balik dan membuat pansus. Bahkan kasus Setya Novanto ada campur baur
antara bukti yang ada di pansus dan bukti yang ada di KPK. “Kalau kita lihat dari ranah pra-peradilannya sendiri, hakim juga sudah tidak parsial
sehingga dia jadi
terseret-seret ke arus politik itu,” ungkapnya.
Selain memaparkan hal di atas, Ahli Hukum Tata Negara UI
tersebut juga memberikan saran kepada pemerintah agar tidak menambah masalah.
Menurutnya, ketika pembentukan perppu ormas beberapa waktu lalu merupakan hal
yang terlalu terburu-buru dan justru menambah masalah. Selain itu, Fakhri juga
menyarankan agar melakukan reformasi di institusi penegak hukum dengan
sebaik-baiknya dan sebenar-sebenarnya secara komprehensif. “Tidak tebang
pilih,” ungkapnya.
Menurut Fakhri selama ini ide reformasi
seolah-seolah gagasan untuk menumbangkan presiden, padahal bukan. “Jadi
betul-betul diselenggarakan untuk memperbaiki sistem yang sedang bobrok ini,”
imbuhnya.
Kebobrokan Sistem Sudah Terjadi Sejak
Zaman Orde Baru
Berbicara kebobrokan sistem, Fakhri mengatakan bahwa
bobroknya sistem saat ini merupakan peninggalan sejak zaman orde baru.
Menurutnya, reformasi di tubuh TNI hampir bisa dikatakan sukses, sementara di
tubuh kejaksaan dan kepolisian masih belum. Ada dua jenis independensi, yaitu
independensi institusi dan independensi dari aparat penegak hukumnya. “Saya contohkan
misalnya di Amerika Serikat (AS), FBI (Federal Bureau of Investigation) di bawah Department of Justice, tapi dia secara independen bisa memeriksa presiden
begitu juga dengan kejaksaannya. Harusnya Indonesia pun seperti itu. Jadi para aparat
penegak hukum itu jangan takut dipecat, karena proses pemecatan itu harusnya
sulit,” ungkapnya.
Selain itu, Ia mencontohkan salah satu kebobrokan sistem sekarang
dengan kasus yang terjadi pada aparat penegak hukum seperti Novel Baswedan yang
disiram air keras, tetapi sampai saat ini pelakunya masih belum diketahui. Itu
salah satu indikasi bahwa masih ada kekuatan gelap yang dapat melakukan
intervensi secara halus maupun kasar. “Itu bukti kalau sistemnya masih
bobrok. Kalau sistem yang baik, kan
ketika ada serangan terhadap aparat harusnya bisa langsung dieksekusi langsung
bisa ditemukan pelakunya dan diproses. Ini kan masih remang-remang,” kata
Fakhri.
Menurutnya, perlu waktu lama untuk menyelesaikan
kebobrokan bangsa ini. Pemerintah harus memiliki program yang gradual
(berangsur-angsur), perkembangannya terlihat untuk tahan-tahap berikutnya. Fakhri mengatakan bahwa beberapa keputusan presiden
selama ini banyak yang blunder (keliru) dan mundur jauh ke masa
sebelum ide reformasi terpikirkan oleh mahasiswa.
Pembentukan perppu misalnya. Bagaimana bisa perppu yang membolehkan tidak hanya
pembubaran ormas, tapi juga mengkriminalkan anggotanya secara tidak langsung.
Jadi kalau ada anggota yang terlibat secara tidak langsung bisa dikriminalkan. “Itu
kan bahaya banget.
Jadi presiden berhenti lah melakukan blunder,” tegasnya.
Terakhir dosen yang juga mengajar di Fakultas Hukum Pasca
Sarjana tersebut mengatakan bahwa dahulu
dia pernah ditanya untuk memilih antara sistem yang baik atau orang
baik. Menurutnya keduanya sangat perlu, tetapi kalau harus memilih salah
satunya menurut Fakhri lebih baik sistem yang baik tetapi dikelola oleh orang baik. Dia juga
menegaskan bahwa Indonesia saat ini keduanya tidak baik (sistem dan pengelola
sistem). “Sistem yang baik hanya bisa dibentuk dan dijalankan oleh
orang baik, tetapi orang yang baik dengan sistem yang korup itu tidak bisa
jalan, bahkan orangnya bisa jadi korup,” pungkasnya.